Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan, kecuali bila diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin[1] sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.
Lain halnya jika motor tersebut adalah harta bawaan. Dalam hal harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya,[2] misalnya menggunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.
Artinya, setiap perbuatan hukum seperti jual-beli, pemberian jaminan, sewa-menyewa, dan sebagainya yang dilakukan terhadap harta bersama, mengharuskan persetujuan dari kedua belah pihak yaitu suami dan istri.
Utang dalam Perkawinan
Selanjutnya, mengenai utang dalam perkawinan, Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan menjadi dua yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap) yaitu suatu utang untuk keperluan bersama.
Lebih lanjut, diterangkan oleh Subekti, bahwa untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi si pembuat utang). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.
Sehingga jika suami yang membuat utang, maka harta benda pribadi istri tidak dapat disita, begitu pula sebaliknya. Kecuali jika benda pribadi tidak dapat mencukupi serta atas perjanjian utang piutang yang ada dibuat dengan persetujuan pasangan masing-masing. Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat utang itu disita juga.
Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Hal tersebut disebabkan karena utang yang dibuat oleh suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila suami atau istri tidak dapat melunasinya, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.
Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh suami tanpa persetujuan istri, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta istri, sebab utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan. Selain itu, utang pribadi juga tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama sebagai akibat tidak adanya persetujuan dari pasangan.
Hukumnya Kreditur Mengambil Barang Debitur Secara Paksa
Adapun, perbuatan kreditur yang menyita atau mengambil secara paksa motor istri Anda secara melawan hukum dapat dijerat dengan Pasal 362 KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.